Sadda, mappabati Ada Ada, mappabati Gau Gau mappabati Tau Tau … sipakatau Mappaddupa Nasaba Engkai Siri’ta nennia Pesseta Nassibawai Wawang ati mapaccing, lempu, getteng, warani, reso, amaccangeng, tenricau, maradeka nennia assimellereng Makkatenni Masse ri Panngaderengnge na Mappasanre ri elo ullena Alla Taala
Selasa, 17 Januari 2012
Suku To Balo (KABUPATEN BARRU)
Konon, dulu ada satu keluarga yang usil mengusik dua kuda belang jantan dan betina yang sedang kawin. Atas keusilan mereka itu, dewa pun marah dan mengutuk satu keluarga itu sehingga kulit tubuh mereka menjadi belang.
Karena malu kulit tubuh mereka belang, satu keluarga itu pun memilih untuk hidup terpencil di lereng gunung, jauh dari keramaian. Mereka berkembang biak di situ, membentuk komunitas yang memiliki budaya sendiri dan bahasa sendiri, disebut bahasa bentong.
Komunitas itu kemudian disebut To Balo dalam bahasa Bugis, yang berarti orang belang.
To Balo bermukim di desa Bulo-bulo, Kecamatan Pujananting, puluhan kilometer jaraknya dari kota Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Desa Bulo-bulo berada di lereng gunung Pao (bulu Pao) yang membentang antara wilayah Kabupaten Barru dan Kabupaten Pangkep.
Ciri khas To Balo memang terletak pada kulit tubuh mereka yang belang bewarna putih. Belang itu terdapat di kaki, badan, dan di dahi. Belang di dahi cukup unik karena bebentuk segitiga menyerupai Avatar.
Secara medis, belang pada kulit tubuh To Balo bukanlah kelainan melainkan pembawaan gen. Kalau mereka kawin sesama maka keturunannya juga akan belang, tapi kalau mereka kawin bukan sesama maka keturunannya ada kemungkinan tidak belang. Dan fakta sudah membuktikan, banyak To Balo yang menikah dengan orang luar, kulit tubuh keturunanya tidak belang.
Kini, To Balo masih eksis dengan komunitas kehidupan mereka. Jumlah mereka semakin sedikit. Mereka memang punya kepercayaan bahwa jumlah satu keluarga harus terdiri hanya dari 10 orang. Kalau lebih maka akan dibunuh atau dibuang ke tempat tertentu.
To Balo mencari penghidupan dari alam di lereng gunung dengan berkebun dan menjual hasil kebunnya. Banyak dari mereka yang telah berbaur dengan orang lain melalui pernikahan-sosbud.kompasiana.com
Minggu, 15 Januari 2012
Lontara
Lontara adalah aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar. Bentuk aksara lontara menurut budayawan Prof Mattulada (alm) berasal dari "sulapa eppa wala suji". Wala suji berasal dari kata wala yang artinya pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah. Huruf lontara ini pada umumnya dipakai untuk menulis tata aturan pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada daun lontar menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar (kira-kira sebesar lidi).
Konsonan

VOKAL

Jumat, 13 Januari 2012
Sentra Kerajinan Sutra
Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM)
Alat Tenun Tradisional
Wajo adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang terkenal sebagai daerah penghasil kain sutra Bugis yang cukup potensial.Di daerah ini terdapat sekitar 4.982 orang perajin gedokan dengan jumlah produksi sekitar 99.640 sarung per tahun dan perajin Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) berjumlah 227 orang dengan produksi sekitar 1.589.000 meter kain sutra pertahun. Khusus untuk pemintal benang sutra sebanyak 91 orang, sedangkan301 kepala keluarga bergerak dibidang penanaman murbei dan pemeliharaan ulat sutra dengan produksi 4.250 kilogram benang pertahun.
Para perajin sutra di daerah ini membutuhkan bahan baku benang sutra sekitar 200 ton atau sekitar 200.000 kilogram per tahun.Oleh karena bahan baku dari Wajo tidak mencukupi, maka paraperajin membeli bahan dari kabupaten tetangga seperti, Soppeng, Sidrap,Enrekang, dan bahkan diimpor dari Cina dan Thailand. Ada tiga bentukdan corak kain sutra yang diproduksi, yaitu: kain setengah jadi(seperti sarung, baju, dan selendang); kain berbentuk gulungan yangdapat dibeli permeter sesuai dengan kebutuhan; dan pakaian siap pakai (seperti: baju, jas, kerudung, kipas, dompet, dan tempat peralatan rias wajah).
Kain-kain sutra tersebut tidak hanya dipasarkan di Sengkang dan Makassar,tetapi juga ke beberapa kota di Pulau Jawa, seperti Cirebon,Pekalongan, Solo dan Yogyakarta. Bahkan telah menjadi produk ekspor dan menjadi incaran banyak desainer terkenal. Harganya pun bervariasi, yakni ditentukan oleh motif dan kualitas kain. Untuk bahan sutra dengan motif paye untuk ukuran satu setelpakaian wanita harganya berkisar antara Rp. 600.000,00 - Rp.700.000,00, sedangkan untuk motif yang bergaris harganya berkisarantara Rp. 450.000,00 - Rp. 500.000,00 per setel. Jika kain sutra itutanpa motif apa pun alias polos, harganya berkisar antara Rp.300.000,00 - Rp. 350.000,00 per setel.
Keistimewaan
Sentra kerajinan sutra di Wajo menyediakan berbagai macam motif kain sutra dan berkualitas tinggi. Motif kain sutra produksi daerah ini ada dua macam, yaitu motif tradisional dan non-tradisional. Motif tradisional atau yang lebih dikenal dengan motif Bugis ini terdiri dari motif sobbi, balorinni, baliare, cobo, sertamotif yang menyerupai ukiran-ukiran Toraja. Sedangkan motifnon-tradisional, ada yang berbentuk batik, bergaris-garis danpayet.
Untuk memperoleh kain sutra yang berkualitas tinggi, benang lokal dan impor tersebut dipadukan menjadi satu dan diolah dalam beberapa tahap.Pertama, kedua macam benang tersebut dimasak dengan sabun dan soda sekitar 1 jam dalam suhu 90 derajat. Tahap selanjutnya, kain tersebut dijemur selama 3 jam dengan suhu 50 derajat. Setelah itu, benang tersebut siap dipasang di mesin tenun dan diolah menjadi kain. Satu kilogram benang lusi dapat menghasilkan sekitar 40 meter kain, dan satu kilogram pakan dapat menghasilkan 12 meter kain. Uniknya, semua proses penenun dilakukan di kolong-kolong rumah mereka.
Lokasi
Sentrap roduksi kain sutra di Kabupaten Wajo tersebar di beberapa kecamatan, seperti di Kecamatan Tempe, Tana Sitolo, Sabbang Paru, Pamana, dan Sajoangin.
Akses
Kabupaten Wajo terletak sekitar 242 kilometer di sebelah timur laut Kota Makassar. Perjalanan dari Kota Makassar menuju ke lokasi dapat ditempuh selama kurang lebih 5 - 6 jam dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun angkutan umum antar kota.
Motif Motif SUTRA
Selasa, 10 Januari 2012
Galigo I
Mali siparappe, malilu sipakaing
Sirebba tannga tessirebba pasorong
Padaidi pada elo, sipatuo sipatakkong
Siwata menre, tessirui no.
(Kita saling mengulurkan tangan ketika hanyut,
Kita saling menghidupkan karena kita seia sekata
Saling mengangkat dan tak saling menjatuhkan)
Berbeda pendapat, tetapi tidak menyebabkan adu kekuatan)
sumber: Mashadi Said (Universitas Gunadarma, Jakarta, Indonesia)
Langganan:
Postingan (Atom)